KomtekBlog - Saat ini di kampus yang ber-plat merah di Probolinggo (yang biasanya dalam hal kualitas maupun kuantitas bisa diadu,) kader HMI di kampus tersebut menjadi kerdil dan tak punya nyali sebagaimana layaknya pejuang. Mereka hanya bisa merongrong organisasinya sendiri tanpa mampu memberikan sumbangsih prestasi yang dapat menjadi kebanggaan bagi para kader.
Biasanya kader HMI
selalu menjadi langganan sebagai Mahasiswa Prestasi (MAWAPRES), Ketua Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ), Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan beberapa
organisasi kemahasiswaan lainnya. Sekarang hanya sebatas angan-angan belaka.
Ini bagian dari
jawaban kita bersama, bahwa pengkaderan saat ini hanya sebatas untuk memenuhi
kuantitas belaka tanpa memperhatikan kualitas yang bisa dihasilkan untuk dapat
menjadi kader yang dapat fokus pada perjuangan ide organisasi, pergerakan
politik, dan ide kenegaraan.
Hanya sebatas
mencari kader dalam rangka suksesi merebut kursi eksekutif maupun legislatif di
tengah geliat perpolitikan kemahasiswaan kampus.
Sementara itu, demi
mengedepankan kualitas, maka perlu kiranya organisasi ini beracuan pada tiga
fokus perjuangan, agar dapat menciptakan insan akademis, pencipta, pengabdi
yang bernafaskan nilai-nilai keislaman yang bertanggungjawab atas terbinanya
masyarakat adil makmur yang diridhai oleh Allah SWT, sesuai dengan tujuan
dibentuknya HMI.
Tiga Fokus
Perjuangan. Ada tiga fokus perjuangan yang disampaikan oleh Mahfud MD[1] yang
cukup kuat pengaruhnya dalam membentuk kepribadian kader HMI. Pertama, HMI
merupakan organisasi perjuangan yang mematangkan ide organisasi.
Munculnya
organisasi HMI dalam rangka untuk mewadahi pengkaderan Mahasiswa Islam sebagai
generasi muda penerus perjuangan yang akan ditagih eksistensinya dalam mengisi
kemerdekaan untuk melunasi janji kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD
NRI 1945.[2]
Dalam mencapai
tujuannya, HMI senantiasa melakukan pematangan-pematangan gagasan organisasi.
Bukan menjadi hal yang aneh ketika HMI menjadi ladang subur berbagai gagasan.
Sehingga, organisasi ini menjadi sangat dinamis.
Dinamika yang ada
pada internal kadang menjurus kepada ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan
perpecahan. Hal semacam itu terjadi dikarenakan adanya perbedaan gagasan. Di
situlah justru gagasan-gagasan yang telah ditawarkan dapat dimatangkan.
Sehingga, bukan hal
yang aneh jika dari rahim HMI banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang matang
dalam berorganisasi.
Kedua, perjuangan
dalam pergerakan politik. HMI merupakan suatu organisasi politik Mahasiswa
Islam di kampus yang tidak berbentuk partai politik dengan orientasi untuk
mengisi kemerdekaan dengan harapan para alumni-alumninya nanti dapat berbuat
banyak untuk membangun negara.
Hal ini bisa kita
rasakan bersama bahwa adanya suatu komunikasi yang intens di kalangan para
alumni yang terwadahi dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).
Ketiga, perjuangan
dalam mematangkan ide kenegaraan. Hal ini memiliki hubungan erat dengan
perjuangan dalam mematangkan ide organisasi. Sejak awal HMI sudah akrab dengan
diskursus mengenai keislaman dan keindonesiaan. Buah pemikiran yang dilahirkan
dari organisasi dapat memberikan kontribusi besar terhadap penentuan dan
pemantapan dasar-dasar ideologi negara yang plural dan religius.
Perlu kita ketahui
bersama bahwa ketiga fokus perjuangan di atas merupakan bagian dari sejarah
HMI, sedikit banyak telah terabaikan oleh para kader generasi penerus
perjuangan himpunan terbesar dan tertua ini, bahkan tidak sedikit nafas
perjuangan para kader HMI saat ini bermuara pada suatu perjuangan
menegedepankan kuantitas daripada kualitas, yang seharusnya keduanya dapat
terpenuhi dengan baik.
Menjadi wajar jika
HMI saat ini mengalami degradasi, baik dalam hal gagasan/pemikiran maupun pengkaderan,
karena tidak ada gagasan cerdas yang disumbangkan oleh HMI kepada Republik
ditengah carut-marut dan tunggal langgangnya tatanan Republik ini.
Republik ini sedang
mengalami krisis multi-dimensional diantaranya Permasalahan disintegrasi,
ekonomi, supremasi hukum, pendidikan, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan
yang semuanya membutuhkan penanganan cepat.
Berbicara
perkaderan, aku jadi teringat saat pertama kali mengikuti Basic Training, aku
terpukau, kagum, bangga, dan mataku berbinar-binar melihat Tim MoT. Mereka
dengan tulus dan tak kenal lelah mengelola training siang-malam tanpa henti,
tanpa digaji dan tanpa dipuji.
Mereka bicara
kebenaran, membahas ide-ide baru, menuntun ke jalan yang benar, dan menunjukkan
betapa pengabdian pada perkaderan adalah jantung kemuliaan dalam organisasi
ini.
Seiring berjalannya
waktu, entah aku yang salah menilai atau kenyataan sebenarnya yang menunjukkan
demikian, aku mulai melihat adanya kesenjangan. Antara ide dan wacana yang
diajarkan di forum training, dalam beberapa hal, sama sekali tidak ada pijakan
realitasnya di dunia nyata.
Dapat dikatakan,
ada kecenderungan di mana pembahasan tentang kebenaran ternyata adalah tak
lebih dari omong kosong belaka. Fenomena yang terjadi menunjukkan betapa ada
suatu keadaan di mana telah terjadi perkaderan ‘’bohong-bohongan’’.
Aku masih ingat, di
dalam forum training, kami diajari caranya melawan segala bentuk penindasan dan
pengungkungan atas kebebasan manusia. Kami juga secara radikal diajari
bagaimana hidup menundukkan diri hanya pada Allah Swt. Tunduk pada manusia atau
senioritas sangat diharamkan. Menjadi kader HMI adalah manusia-manusia yang
mengutamakan cinta-kasih dan kebijaksanaan di atas segalanya, termasuk
kekuasaan.
Menjadi bullshit
manakala omong tentang kebenaran hanya mengawang-awang di langit. Dalam momen
Konfercab yang prosesnya sudah benar, misalnya, seorang kandidat yang sudah
kalah sejatinya tidak punya alasan apa pun untuk memusuhi seorang pemenang.
Karena satu cabang, maka sudah sepatutnya kebijakan yang dijalankan Ketua
Cabang (bekas rivalnya) didukung dan disukseskan. Bukan malah direcoki,
digagalkan, diganggu, dan bertindak yang mengarah ke perbuatan destruktif.
Beberapa orang yang
tidak sudi dipimpin bekas rival Konfercab, ada yang memilih melampiaskan
ketidakpuasan atau ketidakterimaan kekalahan dengan menduduki posisi di BPL dan
menjadi seorang Master of Training (MoT). Dengan aktif di perkaderan, kekalahan
politik dilampiaskan dengan berkarya di ranah pengelolaan training.
Tentu pelampiasan
seperti ini sangat bagus, karena dijiwai oleh semangat kompetisi dalam
berkarya. Fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba dalam berkarya, kebaikan, dan
progresivitas.
Beberapa orang yang
kalah dalam konstelasi memilih menjadi oposisi dan pihak yang menjadi penyeimbang.
Istilahnya menjadi korektor dan pengawal yang kritis dalam memantau segala
kebijakan yang diambil oleh Ketua Cabang. Dengan menjadi oposan, menjadi pihak
pengkritik, demokrasi berjalan dan kinerja Ketua dapat diiring dengan adanya
pressure group tadi.
Dalam ranah
perkaderan, masing-masing pihak harus menjaga betul, bahwa apa pun konfliknya
dan seberapa keras pergolakan politik-ide yang berlangsung, jangan sampai
menghambat, mengganggu, mereduksi, merusak atau membunuh jalannya perkaderan.
Perkaderan adalah
tulang punggung organisasi. Sekali dirusak, maka beberapa periode selanjutnya
pun (tahun-tahun setelahnya), kader-kader yang muncul dari dirusaknya
perkaderan, menghasilkan kader-kader yang ‘’sakit’’.
Doktrin perkaderan
yang aku serap, misalnya dalam Intermediate Training yang kuikuti, para senior
dan pembicara selalu mengajarkan pentingnya profesionalisme seorang MoT dalam
ranah perkaderan. Apa pun konflik di Komisariat, Cabang, Badko, dan PB HMI,
Perkaderan harus tetap jalan dan menjadi nomor satu. Padahal, kenyataannya,
perkaderan pun selalu tidak bisa lepas dari politik.
Perkaderan adalah
produk politik strukturalis. Bila jabatan politik organisasi dipegang oleh
sosok yang concern di perkaderan dan memikirkan keberlangsungan regenerasi,
tentu dunia perkaderan menjadi baik. Begitu pun sebaliknya, bila jabatan
stuktural diisi oleh pribadi yang sakit, materialis, dan hobi menjual
organisasi, tentu perkaderan yang terbangun tidak lebih buruk dari watak
pemimpin strukturalnya.
Oleh karenanya,
dilema yang terjadi di atas tentunya menimbulkan omong kosong perkaderan.
Benarkah perkaderan
seratus persen bisa lepas dari konflik di cabang? Apakah MoT benar-benar steril
dari sikap politis? Apakah ego merebut kekuasaan selalu lebih besar dari
mengabdi pada kaderisasi? Mau jadi apa HMI ke depan bila di dalamnya terlalu
banyak manusia-manusia munafik, rakus, gila jabatan, dan amoral?
Tentu aku
tersinggung dengan masih banyaknya senior berusaha menyetir-nyetir adindanya
yang sedang menjabat. Bahkan, tidak jarang, seorang junior yang berani menolak
intervensi senior, dengan kejam hendak diputus link-nya, diboikot acaranya,
diblokade akses silatuturrahmi. Tak sedikit yang memperbincangkan tentang
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebuah himpunan mahasiswa tertua dan terbesar
di Indonesia. Sudah 72 tahun (1947-2019) himpunan ini berdiri, sejak masa-masa
Indonesia mempertahankan kemerdekaannya.
Sudah banyak alumni
yang dihasilkan dari himpunan ini. Mereka tersebar di segala lapangan profesi,
baik di lingkungan pemerintahan maupun di tengah-tengah masyarakat.
Di lembaga-lembaga
masyarakat, eksistensi mereka diperhitungkan baik di tingakat pusat maupun
daerah. Ada yang mengisi jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain
itu mereka juga memiliki peranan yang menonjol dalam berbagai bidang, seperti
LSM, ormas, dan dunia usaha.
Dalam hal ini, Saya berharap tidak ada yang
menutup mata dengan keadaan hmi saat ini.
YAKUSA..
0 comments:
Post a Comment