Thursday, April 2, 2020

PANCAROBA PERKADERAN HMI


KomtekBlog - Saat ini di kampus yang ber-plat merah di Probolinggo (yang biasanya dalam hal kualitas maupun kuantitas bisa diadu,) kader HMI di kampus tersebut menjadi kerdil dan tak punya nyali sebagaimana layaknya pejuang. Mereka hanya bisa merongrong organisasinya sendiri tanpa mampu memberikan sumbangsih prestasi yang dapat menjadi kebanggaan bagi para kader.

Biasanya kader HMI selalu menjadi langganan sebagai Mahasiswa Prestasi (MAWAPRES), Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan beberapa organisasi kemahasiswaan lainnya. Sekarang hanya sebatas angan-angan belaka.

Ini bagian dari jawaban kita bersama, bahwa pengkaderan saat ini hanya sebatas untuk memenuhi kuantitas belaka tanpa memperhatikan kualitas yang bisa dihasilkan untuk dapat menjadi kader yang dapat fokus pada perjuangan ide organisasi, pergerakan politik, dan ide kenegaraan.

Hanya sebatas mencari kader dalam rangka suksesi merebut kursi eksekutif maupun legislatif di tengah geliat perpolitikan kemahasiswaan kampus.

Sementara itu, demi mengedepankan kualitas, maka perlu kiranya organisasi ini beracuan pada tiga fokus perjuangan, agar dapat menciptakan insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan nilai-nilai keislaman yang bertanggungjawab atas terbinanya masyarakat adil makmur yang diridhai oleh Allah SWT, sesuai dengan tujuan dibentuknya HMI.

Tiga Fokus Perjuangan. Ada tiga fokus perjuangan yang disampaikan oleh Mahfud MD[1] yang cukup kuat pengaruhnya dalam membentuk kepribadian kader HMI. Pertama, HMI merupakan organisasi perjuangan yang mematangkan ide organisasi.

Munculnya organisasi HMI dalam rangka untuk mewadahi pengkaderan Mahasiswa Islam sebagai generasi muda penerus perjuangan yang akan ditagih eksistensinya dalam mengisi kemerdekaan untuk melunasi janji kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945.[2]

Dalam mencapai tujuannya, HMI senantiasa melakukan pematangan-pematangan gagasan organisasi. Bukan menjadi hal yang aneh ketika HMI menjadi ladang subur berbagai gagasan. Sehingga, organisasi ini menjadi sangat dinamis.

Dinamika yang ada pada internal kadang menjurus kepada ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan perpecahan. Hal semacam itu terjadi dikarenakan adanya perbedaan gagasan. Di situlah justru gagasan-gagasan yang telah ditawarkan dapat dimatangkan.

Sehingga, bukan hal yang aneh jika dari rahim HMI banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang matang dalam berorganisasi.

Kedua, perjuangan dalam pergerakan politik. HMI merupakan suatu organisasi politik Mahasiswa Islam di kampus yang tidak berbentuk partai politik dengan orientasi untuk mengisi kemerdekaan dengan harapan para alumni-alumninya nanti dapat berbuat banyak untuk membangun negara.

Hal ini bisa kita rasakan bersama bahwa adanya suatu komunikasi yang intens di kalangan para alumni yang terwadahi dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).

Ketiga, perjuangan dalam mematangkan ide kenegaraan. Hal ini memiliki hubungan erat dengan perjuangan dalam mematangkan ide organisasi. Sejak awal HMI sudah akrab dengan diskursus mengenai keislaman dan keindonesiaan. Buah pemikiran yang dilahirkan dari organisasi dapat memberikan kontribusi besar terhadap penentuan dan pemantapan dasar-dasar ideologi negara yang plural dan religius.

Perlu kita ketahui bersama bahwa ketiga fokus perjuangan di atas merupakan bagian dari sejarah HMI, sedikit banyak telah terabaikan oleh para kader generasi penerus perjuangan himpunan terbesar dan tertua ini, bahkan tidak sedikit nafas perjuangan para kader HMI saat ini bermuara pada suatu perjuangan menegedepankan kuantitas daripada kualitas, yang seharusnya keduanya dapat terpenuhi dengan baik.

Menjadi wajar jika HMI saat ini mengalami degradasi, baik dalam hal gagasan/pemikiran maupun pengkaderan, karena tidak ada gagasan cerdas yang disumbangkan oleh HMI kepada Republik ditengah carut-marut dan tunggal langgangnya tatanan Republik ini.

Republik ini sedang mengalami krisis multi-dimensional diantaranya Permasalahan disintegrasi, ekonomi, supremasi hukum, pendidikan, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan yang semuanya membutuhkan penanganan cepat.

Berbicara perkaderan, aku jadi teringat saat pertama kali mengikuti Basic Training, aku terpukau, kagum, bangga, dan mataku berbinar-binar melihat Tim MoT. Mereka dengan tulus dan tak kenal lelah mengelola training siang-malam tanpa henti, tanpa digaji dan tanpa dipuji.

Mereka bicara kebenaran, membahas ide-ide baru, menuntun ke jalan yang benar, dan menunjukkan betapa pengabdian pada perkaderan adalah jantung kemuliaan dalam organisasi ini.

Seiring berjalannya waktu, entah aku yang salah menilai atau kenyataan sebenarnya yang menunjukkan demikian, aku mulai melihat adanya kesenjangan. Antara ide dan wacana yang diajarkan di forum training, dalam beberapa hal, sama sekali tidak ada pijakan realitasnya di dunia nyata.

Dapat dikatakan, ada kecenderungan di mana pembahasan tentang kebenaran ternyata adalah tak lebih dari omong kosong belaka. Fenomena yang terjadi menunjukkan betapa ada suatu keadaan di mana telah terjadi perkaderan ‘’bohong-bohongan’’.

Aku masih ingat, di dalam forum training, kami diajari caranya melawan segala bentuk penindasan dan pengungkungan atas kebebasan manusia. Kami juga secara radikal diajari bagaimana hidup menundukkan diri hanya pada Allah Swt. Tunduk pada manusia atau senioritas sangat diharamkan. Menjadi kader HMI adalah manusia-manusia yang mengutamakan cinta-kasih dan kebijaksanaan di atas segalanya, termasuk kekuasaan.

Menjadi bullshit manakala omong tentang kebenaran hanya mengawang-awang di langit. Dalam momen Konfercab yang prosesnya sudah benar, misalnya, seorang kandidat yang sudah kalah sejatinya tidak punya alasan apa pun untuk memusuhi seorang pemenang. Karena satu cabang, maka sudah sepatutnya kebijakan yang dijalankan Ketua Cabang (bekas rivalnya) didukung dan disukseskan. Bukan malah direcoki, digagalkan, diganggu, dan bertindak yang mengarah ke perbuatan destruktif.

Beberapa orang yang tidak sudi dipimpin bekas rival Konfercab, ada yang memilih melampiaskan ketidakpuasan atau ketidakterimaan kekalahan dengan menduduki posisi di BPL dan menjadi seorang Master of Training (MoT). Dengan aktif di perkaderan, kekalahan politik dilampiaskan dengan berkarya di ranah pengelolaan training.

Tentu pelampiasan seperti ini sangat bagus, karena dijiwai oleh semangat kompetisi dalam berkarya. Fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba dalam berkarya, kebaikan, dan progresivitas.

Beberapa orang yang kalah dalam konstelasi memilih menjadi oposisi dan pihak yang menjadi penyeimbang. Istilahnya menjadi korektor dan pengawal yang kritis dalam memantau segala kebijakan yang diambil oleh Ketua Cabang. Dengan menjadi oposan, menjadi pihak pengkritik, demokrasi berjalan dan kinerja Ketua dapat diiring dengan adanya pressure group tadi.

Dalam ranah perkaderan, masing-masing pihak harus menjaga betul, bahwa apa pun konfliknya dan seberapa keras pergolakan politik-ide yang berlangsung, jangan sampai menghambat, mengganggu, mereduksi, merusak atau membunuh jalannya perkaderan.

Perkaderan adalah tulang punggung organisasi. Sekali dirusak, maka beberapa periode selanjutnya pun (tahun-tahun setelahnya), kader-kader yang muncul dari dirusaknya perkaderan, menghasilkan kader-kader yang ‘’sakit’’.

Doktrin perkaderan yang aku serap, misalnya dalam Intermediate Training yang kuikuti, para senior dan pembicara selalu mengajarkan pentingnya profesionalisme seorang MoT dalam ranah perkaderan. Apa pun konflik di Komisariat, Cabang, Badko, dan PB HMI, Perkaderan harus tetap jalan dan menjadi nomor satu. Padahal, kenyataannya, perkaderan pun selalu tidak bisa lepas dari politik.

Perkaderan adalah produk politik strukturalis. Bila jabatan politik organisasi dipegang oleh sosok yang concern di perkaderan dan memikirkan keberlangsungan regenerasi, tentu dunia perkaderan menjadi baik. Begitu pun sebaliknya, bila jabatan stuktural diisi oleh pribadi yang sakit, materialis, dan hobi menjual organisasi, tentu perkaderan yang terbangun tidak lebih buruk dari watak pemimpin strukturalnya.

Oleh karenanya, dilema yang terjadi di atas tentunya menimbulkan omong kosong perkaderan.

Benarkah perkaderan seratus persen bisa lepas dari konflik di cabang? Apakah MoT benar-benar steril dari sikap politis? Apakah ego merebut kekuasaan selalu lebih besar dari mengabdi pada kaderisasi? Mau jadi apa HMI ke depan bila di dalamnya terlalu banyak manusia-manusia munafik, rakus, gila jabatan, dan amoral?

Tentu aku tersinggung dengan masih banyaknya senior berusaha menyetir-nyetir adindanya yang sedang menjabat. Bahkan, tidak jarang, seorang junior yang berani menolak intervensi senior, dengan kejam hendak diputus link-nya, diboikot acaranya, diblokade akses silatuturrahmi. Tak sedikit yang memperbincangkan tentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebuah himpunan mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia. Sudah 72 tahun (1947-2019) himpunan ini berdiri, sejak masa-masa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya.

Sudah banyak alumni yang dihasilkan dari himpunan ini. Mereka tersebar di segala lapangan profesi, baik di lingkungan pemerintahan maupun di tengah-tengah masyarakat.

Di lembaga-lembaga masyarakat, eksistensi mereka diperhitungkan baik di tingakat pusat maupun daerah. Ada yang mengisi jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu mereka juga memiliki peranan yang menonjol dalam berbagai bidang, seperti LSM, ormas, dan dunia usaha.

Dalam hal ini, Saya berharap tidak ada yang menutup mata dengan keadaan hmi saat ini.

YAKUSA..

0 comments:

Post a Comment